Sedang Bingung,,

  Lagi bingung,, kerjaan banyak,, ehhh,, bingung mau nulis apa,, hmmm,, aku posting tulisanku duluuu bgt,, beberapa tahu yang lalu,, waktu bikin cerpen untuk tabloid tawon,, hmmm,, tunggu,,

naaahhh,, ini dia,,

*jangan diketawain ya?? jadul bgt lah pokoknya :mrgreen: * hehehehehhe

Pada Sebuah Pagi

September 2006

Aku masih duduk ditepi tempat tidur putri semata wayang ku Sascha Adya Mahardika, wajahnya pucat pasi, sekali lagi aku menangis, ruangan rumah sakit ini rasanya terlalu menakutkan, bau obat-obatan menyeruak dari setiap sudut ruangan, sendirian aku memandangi wajah ayu nya, berharap ia siuman, hari ini hari ulang tahunnya ke 22, kecelakaan itu telah merengut nyawa suami nya, usia pernikahan mereka masih terlalu muda, dan kini ia tergolek lemah tanpa tahu bahwa jabang bayi yang dikandungnya tidak dapat terselamatkan, sebagian diriku terkoyak, diusianya yang masih begitu muda, dia harus merasakan derita yang juga kurasakan saat aku seusianya, hanya dengan memandangnya saja, kelebat masa lalu seperti tampak didepan mataku, seperti sebuah film kehidupan tengah dimainkan, semua potongan kehidupan 23 tahun silam melintas dihadapanku..

Januari 1983

“Saya Terima nikah dan kawinnya Alya Soeripto binti Ahmad Soeripto dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai”

Hari itu hari pernikahanku, entah mengapa aku merasa beban berat dipundakku terasa semakin berat, aku telah benar-benar harus melupakannya, dia dan segala hal menakjubkan tentang dirinya, dia yang selalu kurindukan senyumannya, dia yang tatapan matanya meneduhkanku, dia yang suaranya begitu menentramkan perasaanku, dia yang kesabaran, keteguhan hati, ketabahan, dan kehangatan tatapan matanya mampu mencairkan gunung es sekalipun, dia yang membimbingku untuk selalu menjadi lebih baik dari pada hari kemarin, dan dia yang mengenalku sebagai gadis kecil nya.. dia yang selalu memanggilku ‘adis.. dia yang.. ah.. ada sejuta hal tentang dia yang tak mungkin ku lupakan..

Aku sempat melihatnya diantara rombongan tamu yang datang menyalamiku.. namun aku tak sanggup menatap matanya, aku merasa sangat bersalah, aku mungkin saja telah melukainya, dan aku jelas-jelas melukai diriku sendiri..

“Aku ngerti dis, hidup kan harus tetap berjalan.. tidak boleh berhenti disini, aku bangga pernah mengenalmu, meskipun bukan perpisahan ini yang kuharapkan, aku selalu berdoa akan kebahagiaanmu, ingat untuk tetap semangat ya!”

“maaf kan adis mas.. adis tidak bisa dengan tegas memilih mas, meskipun adis mau.. maaf mas.. keluarga adis hutang budi sama keluarga mereka, dan mereka mau mengambil adis sebagai istri putra bungsu keluarga mereka, bapak sama ibu sudah setuju, maaf..”

hari itu terakhir aku mampu menatap matanya.. kedalam luka yang kutoreh sendiri.. maaf, aku benar-benar minta maaf.. semua ini tentu akan sangat menyakitkan untuk kita, tapi aku selalu ingat akan ucapan ustadz yang memberikan ceramah pada sebuah forum study sore hari, saat pertama kali kita bertemu,

“hidup, mati, jodoh, dan rejeki seseorang itu tuhan yang menentukan”

01 September 1982

hari itulah pertama kali kita bertemu, meskipun usia kita terpaut 13 tahun, tapi selalu saja ada rasa nyaman yang kurasa saat berbicara denganmu, kadang kala melaui telfon kita mendiskusikan banyak hal tentang topik study yang akan datang, kadang kala wajahku tersipu saat kau katakan sejuta sanjungan tentangku.. kau selalu saja tertawa mendengar cerita ku, meskipun itu bukan cerita lucu..

gak tau knapa kalo denger suara mu, aku jadi semangat dan pengen ketawa”

“memangnya aku badut ?!” begitu sahutku sambil tersipu malu.. selalu saja ada hal yang dapat membuatku tersipu malu..

September 2006

Kini, 23 tahun setelah pernikahan itu, aku terduduk sendiri menunggui putri semata wayangku, diusiaku yang ke 45, suamiku telah meninggalkan ku, mendahuluiku menghadap yang kuasa karena penyakit jantungnya saat putriku berusia 5 tahun, tapi aku tetap bertahan, aku selalu menyemangati diriku sendiri, ingin rasanya waktu itu aku berlari kearahmu, tapi itu takkan mungkin kulakukan, aku merasa begitu bersalah padamu, dan akupun tak pernah tau tempat keberadaanmu, kabar terakhir tentangmu kubaca pada sebuah koran nasional 3 tahun yang lalu, juragan ayam yang keliling dunia, begitu judul artikel itu, sepertinya kau kembali ke kampung halaman mu, menjadi wiraswasta, membentuk keluarga bahagia, seorang istri yang cantik, 4 orang anak.. semuanya mirip dengan mu, mereka mewarisi hidung mu, dan senyummu.. yang selalu saja kau tertawakan kalau saja kusinggung tentang hidungmu dan senyummu..

“semua orang dikaruniai kelebihan dan memiliki kekurangan masing-masing” begitu ucapmu waktu itu..

keempat putramu semuanya berhasil, seorang calon dokter, seorang calon pengacara, seorang pengusaha dan seorang ustadz.. kamu hebat mas.. aku tahu kau pasti kau pasti menjadi ayah yang  baik.. aku menangis membaca berita itu, sebagian diriku ingin mengulang masa lalu, andai saja aku mampu mengikuti kata hatiku.. tapi aku tak mampu, aku tak ingin menyakiti lebih banyak orang.. bapak, ibu dan keluarga mertuaku, aku tahu kamu pasti berhasil.. terkadang aku masih memikirkan saat-saat kebersamaan kita mas.. tapi aku bahagia mengetahui bahwa engkau bahagia.. dan senyum putriku yang membuatku tetap bertahan..

^_^

September 2006

Bertahun-tahun aku mengikuti kabar tentang mu, tak kusangka aku melihatmu disini dari jendela ruang ICU di rumah sakit ini,  hanya dengan memandang pada punggungmu saja, kelebat masa lalu seperti tampak didepan mataku, seperti sebuah film kehidupan tengah dimainkan, kau sama sekali tidak berubah, masih dengan wajah ayu mu, senyum yang sesekali kau sunggingkan agar kau dapat menyipitkan matamu, supaya orang lain tak mampu melihat menembus kedalam hatimu, ah.. kau tetap saja seperti yang dulu, menyimpan beban dalam hati mu, enggan membaginya dengan orang lain, tidak juga dengan ku, sesekali kulihat kau menghapus air matamu, dan tersenyum kembali sambil terus memandangi putrimu.. semua potongan kehidupan 23 tahun silam melintas dihadapanku..

Januari 1983

“Saya Terima nikah dan kawinnya Alya Soeripto binti Ahmad Soeripto dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai”

Hari itu hari pernikahanmu, entah mengapa aku merasa beban berat dipundakku terasa semakin berat, sakit rasanya mendengar calon suamimu mengucapkan akad nikah didepan penghulu, rasanya tulang-tulang tubuh ini tak sanggup untuk membuat badanku tetap tegak, aku harus merelakan mu diperistri oleh orang lain, aku harus menghapuskanmu dari ingatanku.. tapi aku tak mampu. ada sejuta hal tentang mu yang tak mungkin ku lupakan..

Aku sempat menangkap pandangan matamu yang tiba-tiba kau buang saat melihatku diantara rombongan tamu yang datang menyalamimu.. aku sendiri pun tak sanggup menatap mu, aku merasa sangat bersalah, aku tahu kaupun sama terlukanya seperti aku, dan aku jelas-jelas melukai diriku sendiri..

“Aku ngerti dis, hidup kan harus tetap berjalan.. tidak boleh berhenti disini, aku bangga pernah mengenalmu, meskipun bukan perpisahan ini yang kuharapkan, aku selalu berdoa akan kebahagiaanmu, ingat untuk tetap semangat ya!”

“maaf kan adis mas.. adis tidak bisa dengan tegas memilih mas, meskipun adis mau.. maaf mas.. keluarga adis hutang budi sama keluarga mereka, dan mereka mau mengambil adis sebagai istri putra bungsu keluarga mereka, bapak sama ibu sudah setuju, maaf..”

hari itu terakhir percakapan kita.. dan kau menatap jauh kedalam mataku, menerawang kedalam hatiku, apa yang kau cari? Apa kau berharap aku akan menarik tanganmu dan membawa mu pergi? Aku tak mampu untuk itu.. aku tahu kelembutan hatimu, aku tahu seumur hidupmu mungkin saja kau akan terbelenggu rasa bersalah dan kau pasti takkan pernah bisa lepas dari bayangan rasa bersalah karena menyakiti keluargamu.. maaf, aku benar-benar minta maaf.. semua ini tentu akan sangat menyakitkan untuk kita, tapi aku selalu ingat akan ucapan ustadz yang memberikan ceramah pada sebuah forum study sore hari, saat pertama kali kita bertemu,

“hidup, mati, jodoh, dan rejeki seseorang itu tuhan yang menentukan”

jikalau memang kita ditakdirkan untuk bersama, pasti akan ada jalan untuk kita bertemu..

01 September 1982

hari itulah pertama kali kita bertemu, meskipun usia kita terpaut 13 tahun, tapi selalu saja ada rasa menggelitik yang kurasa saat berbicara denganmu, kadang kala melaui telfon kita mendiskusikan banyak hal tentang topik study yang akan datang, kadang kala wajah mu memerah karena tersipu saat ku katakan sejuta sanjungan tentangmu.. entah bagaimana caranya kau selalu saja mampu membuatku tertawa mendengar cerita mu, meskipun itu bukan cerita lucu..

gak tau knapa kalo denger suara mu, aku jadi semangat dan pengen ketawa”

“memangnya aku badut ?!” begitu sahutmu sambil tersipu malu.. selalu saja ada hal yang dapat membuat wajahmu merona merah karena tersipu malu..

September 2006

Kini, 23 tahun setelah perpisahan kita itu, aku berdiri disini, didepan ruangan ICU memandangimu yang tengah terduduk sendiri menunggui putri semata wayangmu, diusiaku yang ke 58, istriku telah meninggalkanku karena penyakit kanker yang ia derita, tapi aku tetap bertahan, aku selalu menyemangati diriku sendiri, berjuang demi anak-anakku, ingin rasanya waktu itu aku berlari kearahmu, tapi itu takkan mungkin kulakukan, aku tidak ingin mengganggu kehidupan keluargamu, aku tidak ingin menggoyahkan kesetiaanmu, meskipun aku tahu tempatmu berada, kau tak pernah beranjak dari kota itu, kota dengan sejuta kenangan tentang kita, sementara aku berusaha lari dari kenangan tentang kita, kau tetap bertahan di kota itu, dan kau mampu menjalani hidup dengan tetap melihat banyak tempat yang pernah kita lewati, jauh didalam hatiku aku ingin mengulang masa lalu, andai saja aku mampu mengikuti kata hatiku.. tapi aku tak mampu, aku tak ingin rasa bersalah seumur hidup menghantuimu, aku tahu kamu pasti berhasil.. terkadang aku masih memikirkan saat-saat kebersamaan kita.. tapi aku bahagia mengetahui bahwa engkau bahagia.. dan aku tahu kau pasti mampu bertahan.. aku terus saja memandangmu, garis-garis wajahmu nan elok masih tampak dan tidak termakan usia.. tidak pernah kusangka akan bertemu denganmu disini, dikota yang tidak akan mungkin kudatangi jika tidak karena salah satu putraku sakit dan dirawat disini, melihat daftar pasien di papan masuk tertulis nama “sascha adya mahardika” dengan sedikit kaget dan ragu, aku tetap berjalan menuju ruang ICU ini, dan melihatmu duduk dalam diam memandang wajah putrimu.. meskipun aku berharap nama itu seharusnya menjadi nama putri kita, setidaknya nama itu masih kau ingat..

^_^

 

Pagi ini hari kelima aku memandang pada ruang ICU itu, aku tetap tidak sanggup untuk menyapamu.. tak kutemukan sosokmu disana, mungkin kau belum datang.. dengan sedikit bergegas aku menuju pada mesin kopi terdekat, semalam suntuk aku berdiri disamping jendela itu, memandang pada wajah teduh mu.. kini rasa kantuk menyerangku, aku tengah mengambil gula saat suara yang begitu ku kenal membangkitkan memori 23 tahun lalu..

“mas adam?”

aku menoleh dan mendapati sosokmu disana, pada sebuah pagi seluruh kenangan tentang kita diputar ulang dalam ingatan kita masing-masing, masing-masing kita tercengang tanpa mampu mengucapkan kata-kata, hingga dengan suara tercekat aku mampu mengucapkan namamu,

“alya?” atau harus kah kupanggil engkau dengan sebutan itu? “adis?”

^_^

 

Teriring Ribuan Maaf,

Untuk Sebentuk Hati yang Tersakiti.

 

 

 

Asti Sri Purniyati

12 Komentar

  1. Rindu berkata:

    Sis, saya suka kalimat penutupnya … teriring maaf, untuk sebentuk hati yang tersakiti. Dalem 🙂

    ratutebu: hihihihihi,, :mrgreen: aku jadi malu kalo dipuji gini,, hihihihi

  2. daeng limpo berkata:

    dulu waktu saya akad nikah ijab qabulnya kok lain ”
    saya terima nikahnya daeng limpo dengan mas kawin si fulan sebagai sanderanya… 😀

    ratutebu: waduuuhhhh.. kok pake sandera ya?? 🙄

  3. Landy berkata:

    ehmmmm, jadi semangat neh

    ratutebu: eeehhhhmmm,, semangat knapa ya?? :mrgreen:

  4. risdania berkata:

    Cerita pendek tp dgn arti yg dalam,,

    ratutebu: hihihihi,, terimakasih,, sempet takut orang bingung karena dobel2,, maksudnya itu satu dari sudut pandang si cewe satu dari si cowo,, jadi sebenernya ceritanya pendek bgt ya?? :mrgreen:

  5. hanggadamai berkata:

    wah bermakna banget nih ceritanya untuk diriku 🙂

    ratutebu: pernah mengalami ya?? wekekekekekekekekkkk,,, :mrgreen:

  6. olangbiaca berkata:

    Aslkm……..Cerpen nan menyentuh…..

    salam kenal mbak

    ratutebu: salam knal kembali,, terimakasih,,

  7. chic berkata:

    weeeew… *terharu*

    ada sedikit pengalaman pribadi kah disitu? :mrgreen:

    ratutebu: wadoooohhh,, bukan,, ini fiksi,, murni khayalan,, hihihihi :mrgreen: bneran lah,,

  8. lagi bingung aja bisa nulis yang bagus ya. 🙂

    ratutebu: syukurlah kalo bagus,, *terimakasih* jadi GR ni,, kan nulisnya udah agak lama,, baru diposting aja,, karena bingung mau nulis apa,, hehehehe

  9. tasmerah berkata:

    aq seneng ending lho,…
    trus yang September 2006 juga dramatis kok,…

  10. nh18 berkata:

    Sepertinya di ilhami pengalaman pribadi ini …
    tentu dengan bunga kembangan cerita disana – sini ..

    Tapi intinya … ?
    Yaaaa gitu deh …
    pasti abis ketemu mantan …

    (Trainer sok tau …)

  11. Adya berkata:

    yak ampun.. kok itu nama anaknya mirip banget sama nama saya.. Adya Maharddhika..tinggal diilangin Sascha-nya ama variasi dikit di Mahardika. Anyway nice story 🙂

    ratutebu: waaaahhhh.. beneran namanya tuuuuuhhhh.. sungguh sebuah kebetulan yang betul betul mengezutttt kannnnn.. :mrgreen: terimakasih atas pujiannya 😳 jadi maluuuuuuuu

Tinggalkan Komentar